Membayangkan bagaimana rasa menjadi penyanyi internasional sungguh menyenangkan. Bisa menjelajah dunia, mengenal banyak artis maupun aktris, dan lainnya.
Dunia terlalu sempit, banyak teman mengatakan aku pantas memiliki cita-cita itu. Tetapi, tak kalah banyak juga yang mengatakan aku tak pantas berangan-angan seperti itu. Ketika ku berdiri di hadapan teman-teman perasaan gugup tentu ada, apakah aku pantas jika ditonton ribuan penonton acara musik jika aku menjadi seorang penyanyi dengan kemampuan gugup di hadapan banyak orang? Kurasa jawabannya hanyalah TIDAK.
Seseorang yang tak menyukaiku bermain musik adalah orangtuaku sendiri. Padahal, sebagian temanku menyetujui jika aku bermain musik, termasuk Denissa. Ia sahabat yang selalu mengerti apa yang aku inginkan.
Embun pagi membasahi kacamata hitamku, aku telah berada di gedung sekolahku. Pagi ini, aku akan tampil membawakan lagu dari One Direction untuk acara ulang tahun sekolah yang ke-7. Aku bernyanyi solo atau penyanyi tunggal.
Sedikit rasa gugup saat di belakang panggung. Menurutku, aku telah siap mental dan fisik jikalau teman-teman tidak menyukai aksi panggungku. Harus ku akui, aku sedikit memiliki demam panggung. Semoga, pada hari ini hal itu tak terjadi padaku.
Beberapa menit lagi, aku akan tampil. Dengan berbekal suara, lirik lagu, dan mental aku akan siap.
Beberapa menit lagi, aku akan tampil. Dengan berbekal suara, lirik lagu, dan mental aku akan siap.
Terdengar suara MC yang sedang penyambutan, ini langkah pertama. Jadi, aku nggak boleh kecewain teman-teman yang sudah mendukungku.
“Ya, kali ini siswi dari SMP Nusa Bakti, Anindya Putri Jessica akan membawakan sebuah alunan lagu yang ia persembahkan untuk sekolah tercintanya. Mari kita sambut,, Anindya... Beri tepuk tangannya!!!” Tepat sekali, namaku telah terpanggil, aku harus maju dan memberikan penampilan yang mengesankan.
“Ya, kali ini siswi dari SMP Nusa Bakti, Anindya Putri Jessica akan membawakan sebuah alunan lagu yang ia persembahkan untuk sekolah tercintanya. Mari kita sambut,, Anindya... Beri tepuk tangannya!!!” Tepat sekali, namaku telah terpanggil, aku harus maju dan memberikan penampilan yang mengesankan.
Beberapa langkah ragu, aku mulai berjalan. Tepat di tengah panggung aku berhenti. Suara alunan lagu mulai terdengar. Aku akan mulai bernyanyi, bersiap-siap untuk menunjukkan bahwa aku layak berdiri di panggung megah ini. Aku melihat sekeliling, seseorang dengan paras cantik dengan busana biru dan putih itu tersenyum ke arahku, ia memberikan dua jempolnya untukku, dialah Denissa. Aku merasa terisi kembali, semua semangat telah kembali pada diriku.
Aku mulai bernyanyi.
“...♪ So get out, get out get out of my head
♪ And fall into my arms instead
♪ I don’t, I don’t know, know what it is
♪ But I need that one thing...
♪You’ve got that one thing..”
“Perfect performance..” Puji Denissa saat aku turun dari panggung, rupanya setelah melihat aksiku, dia segera pergi menuju belakang panggung.
“Makasih, aku tadi kelihatan gugup gak?” Aku senang dengan pujian Denissa, ternyata aku bisa menjadi apa yang ia minta, yaitu aku bisa tampil dengan sempurna.
“Sama sekali nggak kelihatan. Kamu kelihatan enjoy dengan lagunya. Keren banget, Nin!” Jawabnya begitu mengharukanku, mataku menjadi berkaca-kaca mendengarnya.
Dengan penampilan santaiku ini, aku bisa terbawa santai dengan lagu itu sendiri.
Aku mulai bernyanyi.
“...♪ So get out, get out get out of my head
♪ And fall into my arms instead
♪ I don’t, I don’t know, know what it is
♪ But I need that one thing...
♪You’ve got that one thing..”
“Perfect performance..” Puji Denissa saat aku turun dari panggung, rupanya setelah melihat aksiku, dia segera pergi menuju belakang panggung.
“Makasih, aku tadi kelihatan gugup gak?” Aku senang dengan pujian Denissa, ternyata aku bisa menjadi apa yang ia minta, yaitu aku bisa tampil dengan sempurna.
“Sama sekali nggak kelihatan. Kamu kelihatan enjoy dengan lagunya. Keren banget, Nin!” Jawabnya begitu mengharukanku, mataku menjadi berkaca-kaca mendengarnya.
Dengan penampilan santaiku ini, aku bisa terbawa santai dengan lagu itu sendiri.
Selama dua hari, aku mendapat fans banyak karena penampilanku kapan itu. Yang dulunya aku adalah anak yang paling malas untuk pergi ke luar, sekarang aku sangat gemar ke luar kelas untuk menemui para fansku. Dan Denissa, ia memintaku menyanyikan lagu yang ia suka di setiap aku bertemu dengannya.
Sesampainya di rumah, aku merebahkan badanku ke kasur. Hmm, badanku terasa remuk, karena banyak yang memberiku hadiah. Tapi, aku tetap bersyukur atas itu semua.
TOK.. TOK.. TOK..
Seseorang ada di balik pintu kamarku,
“Masuk aja, nggak dikunci kok!” Teriakku dari kamar.
Ternyata yang mengetok pintu adalah Bunda. Tumben sekali, beliau memberi waktu untukku yang biasanya ia gunakan untuk bekerja, bekerja, dan bekerja. Tapi, anehnya aku tetap menyayanginya.
Seseorang ada di balik pintu kamarku,
“Masuk aja, nggak dikunci kok!” Teriakku dari kamar.
Ternyata yang mengetok pintu adalah Bunda. Tumben sekali, beliau memberi waktu untukku yang biasanya ia gunakan untuk bekerja, bekerja, dan bekerja. Tapi, anehnya aku tetap menyayanginya.
Bunda duduk di sebelahku, raut mukanya terlihat sedang sedih bercampur marah. Ada apa ini??
“Nak,” Bunda memulai pembicaraan..
“Ada apa, bun, tumben sekali?” Tanyaku enteng.
“Hm, berhentilah bermain musik!” Ucapnya membentakku, tetapi dengan nada yang halus.
“K.. kenapa, Bun?” Takut membuatku gugup.
“Bunda pernah katakan padamu, kamu nggak boleh bermain musik!” Ucapan itu ke luar lagi.
“Selagi Bunda belum memberitahuku mengapa aku tak diperbolehkan bermain musik aku tak akan berhenti!” Ucapku membantah, karena aku tetap ingin bermain musik.
“Bunda tidak bisa, nak..” Air mata Bunda tiba-tiba menetes.
“Bunda, Bunda nggak apa-apa,kan?” Aku merapatkan bagian, dan memeluknya.
“Kamu masih sayang Bunda, kan?” Aku kaget, mengapa Bunda tiba-tiba bertanya seperti ini?
“Tentu, dan akan selamanya aku sayang Bunda. Ada apa, Bun?” Aku semakin penasaran dengan Bunda.
“Tinggalkan musik!” Bunda melepas pelukanku,
“Kenapa, Bun, kenapa?” Tanyaku sedikit menahan sedih.
“Nak, sebenarnya Almarhum ayahmu sangat menyukai musik. Bunda nggak mau kamu jadi seperti Almarhum yang tiba-tiba ninggalin Bunda demi pergi ke luar negeri hanya untuk musik. Bunda nggak mau itu terjadi sama kamu, Nak.! Mengertilah Bundamu ini!” Raut muka Bunda menjadi lega, tetapi sedikit tercampur sedih.
“Bunda, aku masih SMP nggak mungkin aku bisa pergi jauh-jauh dari Bunda. Dan aku nggak akan lupain Bunda demi musik. Aku janji, Bunda!” Jawabku dengan sedikit meneteskan air mata, dan memeluk beliau.
“Kamu janji? Tapi tetap pertahanin pelajaranmu ya!” Bunda mulai mempercayaiku.
“Janji, Bundaaaaaa.....” Berteriak, tak terasa telah datang hujan. Tapi, aku heran padahal ini ada di rumah, dan nggak ada atap yang berlubang.
“Nak,” Bunda memulai pembicaraan..
“Ada apa, bun, tumben sekali?” Tanyaku enteng.
“Hm, berhentilah bermain musik!” Ucapnya membentakku, tetapi dengan nada yang halus.
“K.. kenapa, Bun?” Takut membuatku gugup.
“Bunda pernah katakan padamu, kamu nggak boleh bermain musik!” Ucapan itu ke luar lagi.
“Selagi Bunda belum memberitahuku mengapa aku tak diperbolehkan bermain musik aku tak akan berhenti!” Ucapku membantah, karena aku tetap ingin bermain musik.
“Bunda tidak bisa, nak..” Air mata Bunda tiba-tiba menetes.
“Bunda, Bunda nggak apa-apa,kan?” Aku merapatkan bagian, dan memeluknya.
“Kamu masih sayang Bunda, kan?” Aku kaget, mengapa Bunda tiba-tiba bertanya seperti ini?
“Tentu, dan akan selamanya aku sayang Bunda. Ada apa, Bun?” Aku semakin penasaran dengan Bunda.
“Tinggalkan musik!” Bunda melepas pelukanku,
“Kenapa, Bun, kenapa?” Tanyaku sedikit menahan sedih.
“Nak, sebenarnya Almarhum ayahmu sangat menyukai musik. Bunda nggak mau kamu jadi seperti Almarhum yang tiba-tiba ninggalin Bunda demi pergi ke luar negeri hanya untuk musik. Bunda nggak mau itu terjadi sama kamu, Nak.! Mengertilah Bundamu ini!” Raut muka Bunda menjadi lega, tetapi sedikit tercampur sedih.
“Bunda, aku masih SMP nggak mungkin aku bisa pergi jauh-jauh dari Bunda. Dan aku nggak akan lupain Bunda demi musik. Aku janji, Bunda!” Jawabku dengan sedikit meneteskan air mata, dan memeluk beliau.
“Kamu janji? Tapi tetap pertahanin pelajaranmu ya!” Bunda mulai mempercayaiku.
“Janji, Bundaaaaaa.....” Berteriak, tak terasa telah datang hujan. Tapi, aku heran padahal ini ada di rumah, dan nggak ada atap yang berlubang.
Dan ternyataa.......
“Ahhhh, Bundaaa.... Kenapa aku disiram pakai air sih?? Jadi basah tau, Bun!” Oh, rupanya aku sedang bermimpi.. Mimpi yang indah, berharap bisa menjadi kenyataan.
-THE END-
“Ahhhh, Bundaaa.... Kenapa aku disiram pakai air sih?? Jadi basah tau, Bun!” Oh, rupanya aku sedang bermimpi.. Mimpi yang indah, berharap bisa menjadi kenyataan.
-THE END-
0 komentar:
Post a Comment